Sabtu, 26 Maret 2016

SEJARAH AMTSILATI DAN DARUL FALAH


Suasana salah satu daerah di Darul Falah th. 2008
Berawal dari pengalaman nyantri di Pesantren Maslakul Huda Kajen - Margoyoso Pati dan bersekolah di Perguruan Islam Mathali'ul Falah di bawah  asuhan  KH. Sahal  Mahfudh  dan  KH. Abdullah Salam, penulis merasakan begitu sulitnya membaca kitab kuning.

Hal tersebut sangat wajar sebab latar belakang pendidikan penulis, di mulai dari TK, SD, MTsN ( kurikulum ) yang notabene sangat kecil pendidikan tentang agama. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah hafal Alfiyah yang merupakan harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Dengan sekuat tenaga penulis menghafalkan Alfiyah walaupun belum tahu untuk apa Alfiyah yang dihafalkan, yang penting mantap, yaqin,  ibarat mantra,  bukan ibarat resep. Mestinya Alfiyah oleh santri bukan hanya dijadikan mantra tetapi harus dijadikan resep yang harus dipahami dan dihafal.


Setelah  lulus  dari  Diniyah   Wustho  2  tahun,         
           
Alfiyah yang dihafalkan pun sedikit demi sedikit hilang, karena belum tahu untuk apa Alfiyah itu. Bahkan kelas satu aliyah Alfiyah pun tertindas dengan hafalan wajib  aliyah.

Memasuki kelas dua Aliyah hafalan dibebaskan. Mulai itulah baru sedikit demi sedikit tahu bahwa Alfiyah adalah sebagai pedoman dasar untuk membaca kitab. Pengetahuan itu diawali dengan sering ditanyakannya oleh guru kelas dua Aliyah tentang dasar Alfiyah tersebut.

Motivasi untuk memahami Alfiyah pun muncul. Dari ghirah tersebut muncul kesimpulan bahwa ternyata tidak semua nadlom Alfiyah itu digunakan dalam praktek membaca kitab. Sebagai contoh adalah pembahasan Imalah. Atau bisa disimpulkan bahwa cukup dengan nadlom 100 sampai 200 bait yang sangat penting, yang menduduki skala prioritas, yang lain hanya sekedar penyempurna.

Tahun 1995 lulus dari Kajen. Tidak tahu akan ke mana melanjutkan dan apa yang harus penulis kerjakan, mengingat penulis berlatar belakang ekonomi yang sangat lemah.


Bersamaan  kepulangan   penulis,    ada    teman penulis 4 orang yang ikut ke Bangsri dengan tujuan kerja di meubel-meubel, kebetulan teman
penulis tersebut termasuk orang yang hafal Alfiyah tetapi tidak tahu untuk apa Alfiyah.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa saya bisa, sedangkan teman saya tidak bisa, di mana pada waktu dulupun saya mengalami hafal tetapi tidak paham   

Mulailah proses pembelajaran pada 4 orang teman saya Saifuddin dari Jepat Lor, Mahmuddin dari Ngagel, Saiful Ulum dari Bulu Manis dan Zainal Abidin dari Tenggeles Kudus. Setiap contoh apapun saya tunjukkan dasarnya sampai terkumpul 150 bait, inti sari Alfiyah.

Setengah tahun kemudian, tahun 1996  ada keponakan saya yang ikut mondok yang bernama Shodiqin dan Nur dari Bondo.Tempat anak-anak itu saya pinjamkan rumahnya Bapak Imron, rumahnya tepat di depan rumah saya, karena terus terang saya belum punya rumah yang layak huni


Kebetulan Shodiqin memanggil saya dengan sebutan yai yang berarti kakek . Karena memang bila diurutkan nasabnya, masih termasuk  keluarga. Shodiqin    bin    Surono,  Surono   adalah  anak   Ibu Sutinah.  Ibu  Sutinah    anak   Mbah    Astro,   sementara   Mbah  Astro adalah
kakak bapak saya. Secara spontan maka anak didik saya memanggil saya yai, karena ikut-ikutan Shodiqin.

Bersama dengan empat anak yang ada tadi , saya mendirikan majlis ta'lim anak-anak kecil yang saat itu hampir mencapai 100 anak.



Kurang nyaman rasanya jika berada di rumah orang, karena itu saya dirikan gubuk-gubuk kecil disamping rumah saya, ditempat layaknya dapur yang banyak kecoak, nyamuk, dan tidak pernah luput dari tetes air hujan karena atap bocor.

Kemudian datanglah teman-teman Shodiqin yang bernama Abdul Aziz, Su'ud, Abdul karim dan Agus.

Merasa kurang dengan keilmuan yang saya miliki, kemudian saya berguru thoriqoh di Pesantren KH. Salman Dahlawi. Satu minggu kemudian,  bapak saya meninggal dunia dan yang menjadi penyesalan sampai saat ini, saya tidak bisa mengantarkan ke pemakaman beliau, karena harus menyelesaikan tugas, disamping itu jika pulangpun sudah tidak ada angkutan.


Setelah   tujuh  hari   sepeninggal  Bapak  saya, Alhamdulillah   masih   ada    sisa    sumbangan
tetangga yang berupa beras  sekitar 20 kg dan uang 50 ribu.  Beras itu  pun saya   bawa  untuk bekal  mondok Thoriqoh..

Sejak saat itulah saya bertekad tidak akan pulang sebelum khatam thoriqoh, mumpung masih belum menikah. Selain mempelajari thoriqoh, saya membantu pembangunan Pesantren Al-Manshur sebagai laden (pembantu tukang batu)

Alhamdulillah selama 100 hari saya diberi anugerah Allah bisa menghatamkan thoriqoh yang mestinya harus ditempuh sampai 5 tahunan. Anehnya, beras 20 kg itu masih tersisa lebih dari 10 kg, padahal dimakan lebih dari 4 orang selama saya di sana dan uang masih tersisa 20 ribu untuk biaya pulang. Itu semua berkah karomah Mbah Manshur dan Mbah Salman.

Setelah hatam thoriqoh, saya pun pulang kampung. Suatu  hal yang menyedihkan adalah Majlis ta'lim yang saya rintis bersama 4 orang teman saya telah bubar, anak-anak yang mondok boyong, hanya Shodiqinlah yang kembali, sedangkan yang lain tidak kembali.

Sejak saat itu saya tidak punya aktifitas apa-apa, hanya  mengulangi mengajar Shodiqin . Sampai
pada suatu hari, ada tetangga saya  yang pingsan dan tidak ada yang bisa menyadarkannya. Alhamdulillah saya bacakan  ayat  kursi,  dengan ijin Allah langsung bisa sembuh. Dari situlah nama saya mulai dikenal banyak orang. Kemudian ada anak yang sakit, Alhamdulillah juga bisa sembuh berkat pertolongan Allah SWT. Anak-anak pun mulai  berdatangan  untuk belajar agama kembali dan banyak tamu-tamu berdatangan untuk  berobat.

Pada tengah malam, tepatnya Jam 01.00 WIB., saya bersama anak-anak membongkar rumah saya dan  Alhamdulillah  sebelum waktu subuh tiba, pembongkaran sudah selesai.Orang kampung bukannya membantu, tapi menertawai dan menghina "mau tidur di mana nanti?". Dengan kesabaran dan ketabahan, saya dan anak -anak kembali membangun gubug-gubug kecil sambil memperbaiki rumah saya,  yang kebetulan pada saat itu ada pohon jelok yang roboh yang bisa dijadikan tiang-tiang, usuk dan sebagainya


Tahun 1997 saya menikah dengan wanita idaman saya, yang saya kenal waktu di pondok pesantren.   Memang  niat  utama  saya  saat  itu, 
mengenalnya adalah khitbah, yang jika nanti saya sudah punya kemampuan ekonomi,  akan saya nikahi.  Walaupun saya mengenalnya, tanpa mengetahui wajahnya, sampai waktu  pinangan.


Sampai tahun 2000 proses belajar-mengajar menggunakan metode guru  menulis  bait  -  bait di papan tulis, selanjutnya dibaca dan dipelajari bersama-sama  dengan murid. Seperti halnya yang pernah saya sampaikan pada teman teman saya dulu. Selain belajar mereka juga bekerja.

Pada tahun yang  sama, ada anak - anak putri yang bersekolah di MTs,  ikut mondok di tempat saya. Mereka pun saya beri pelajaran sebagaimana biasa. Santri selalu stabil 9 orang, bila ada yang masuk,  ada yang keluar. Ternyata dari anak anak kecil tadi ada yang bisa menerima, ada yang tidak bisa menerima, karena memang sama sekali tidak mengenal ilmu nahwu.


Suatu hari saya mendengar ada sistem belajar cepat baca Al-Qur'an, dan  saya menemukan kitabnya yaitu Qiro'ati. Terdorong dari metode Qiro'ati yang mengupas cara membaca yang ada harokatnya, saya ingin menulis yang bisa digunakan untuk membaca yang tidak ada harokatnya. Orang  mendengar  ilmu  nahwu jadi
ngelu dan alergi . Orang mendengar ilmu shorof menegangkan saraf. Terbetiklah nama Amtsilati yang berarti beberapa contoh dari saya yang sesuai dengan akhiran "ti" dari Qiro'ati. Mulai tanggal 27 Rajab,  tahun 2001 M., saya mulai merenung dan muncul pemikiran untuk mujahadah, dimana dalam thoriqoh ada do'a khusus , yang jika orang secara  ikhlash melaksanakannya, insya Allah akan  diberi jalan keluar dari masalah apapun oleh Allah dalam jangka waktu kurang dari 4 hari. Setiap hari saya lakukan mujahadah terus - terusan sampai tanggal 17 Ramadlan yang bertepatan dengan Nuzulul Qur'an. Saat mujahadah, kadang saya ke makam Mbah Ahmad Mutamakin. 



Di situ kadang seakan akan berjumpa dengan Syekh Muhammad Baha'uddin An-Naqsyabandiyyah, Syekh Ahmad Mutamakkin dan Imam Ibnu Malik dalam keadaan setengah tidur dan setengah sadar. Hari itu, seakan-akan ada dorongan kuat untuk menulis. Siang malam saya ikuti dorongan tersebut dan akhirnya tanggal 27 Ramadlan selesailah penulisan Amtsilati dalam bentuk tulisan tangan. Amtsilati tertulis hanya  sepuluh hari.



Kemudian diketik komputer oleh Bapak Nur Shubki,   kang  Toni  dan   kang   Marno.   Proses 
pengetikan  mulai dari Khulashoh sampai Amtsilati memakan waktu  hampir 1 tahun. Kemudian dicetak sebanyak 300 set. Sebagai follow up terciptanya Amtsilati, kami gelar  bedah buku di gedung Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Jepara, tanggal 16 juni 2002  diprakarsai Bapak Nur Kholis. Sehingga timbullah tanggapan dari peserta yang  pro dan kontra.




Salah satu dari para peserta bedah buku di Jepara  kebetulan mempunyai kakak di Mojokerto yang menjadi pengasuh Pesantren. Beliau  bernama KH. Hafidz pengasuh pondok pesantren "Manba'ul Qur'an". Beliau berinisiatif untuk menyelenggarakan pengenalan sistem cepat baca kitab kuning Metode Amtsilati, tanggal 30 Juni 2002. Untuk acara tersebut Bapak H. Syauqi Fadli sebagai donatur, menyarankan agar dicetak 1000 set buku Amtsilati dan sekaligus untuk acara  Hubbur Rosul di Ngabul Jepara.             

Alhamdulillah pada acara di Mojokerto mendapat sambutan luar biasa, terlihat dari banyaknya buku yang terjual. Sementara pada acara bedah buku yang pertama  di Jepara  tidak laku.


Dari Mojokertolah dukungan  mengalir  sampai ke beberapa daerah di Jawa Timur, melalui forum yang digelar oleh Universitas Darul Ulum  ( UNDAR)  Jombang, Jember, Pamekasan madura. Sampai saat ini Amtsilati telah  tersebar  ke pelosok Jawa, bahkan sudah sampai ke luar Jawa, seperti Kalimantan, Batam dan alhamdulillah telah dikenal di luar negeri, seperti Malaysia. 



BERDIRINYA DARUL FALAH        

Secara tidak resmi Darul Falah ada sejak saya lulus dari Pesantren. Secara resmi Darul Falah didaftarkan ke Notaris (Bapak H. Zainurrohman SH. Jepara) tanggal 01 Mei 2002  dengan nomor registrasi 02.


Santrinya berasal dari berbagai daerah di penjuru tanah air : Bali, Madura, Jawa Timur, Bawean, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatra, kalimantan, Sulawesi. Sampai sekarang telah tercatat    lebih   dari    500  santri lulusan Darul Falah yang hanya nyantri 3 bulan sampai 6 bulan. Dengan adanya Pasca sekarang santri berjumlah 350 santri putra-putri.

Darun : Negeri / rumah ( untuk mengenang rumah saya yang saat itu rusak hampir roboh dan desa saya yang begitu rusak penuh judi dan lokalisasi ).
Falah : Bahagia / beruntung yang saya ambil dari Matholiul Falah.

Darul Falah : Rumah / Negeri Keberuntungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar