|
Suasana salah satu daerah di Darul Falah th. 2008 |
Berawal
dari pengalaman nyantri di Pesantren Maslakul Huda Kajen - Margoyoso Pati dan
bersekolah di Perguruan Islam Mathali'ul Falah di bawah asuhan
KH. Sahal Mahfudh dan
KH. Abdullah Salam, penulis merasakan begitu sulitnya membaca kitab
kuning.
Hal
tersebut sangat wajar sebab latar belakang pendidikan penulis, di mulai dari
TK, SD, MTsN ( kurikulum ) yang notabene sangat kecil pendidikan tentang agama.
Persyaratan yang harus dipenuhi adalah hafal Alfiyah yang merupakan harga mati
yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Dengan
sekuat tenaga penulis menghafalkan Alfiyah walaupun belum tahu untuk apa
Alfiyah yang dihafalkan, yang penting mantap, yaqin, ibarat mantra, bukan ibarat resep. Mestinya Alfiyah oleh
santri bukan hanya dijadikan mantra tetapi harus dijadikan resep yang harus
dipahami dan dihafal.
Setelah lulus
dari Diniyah Wustho
2 tahun,
Alfiyah
yang dihafalkan pun sedikit demi sedikit hilang, karena belum tahu untuk apa
Alfiyah itu. Bahkan kelas satu aliyah Alfiyah pun tertindas dengan hafalan
wajib aliyah.
Memasuki
kelas dua Aliyah hafalan dibebaskan. Mulai itulah baru sedikit demi sedikit
tahu bahwa Alfiyah adalah sebagai pedoman dasar untuk membaca kitab.
Pengetahuan itu diawali dengan sering ditanyakannya oleh guru kelas dua Aliyah
tentang dasar Alfiyah tersebut.
Motivasi
untuk memahami Alfiyah pun muncul. Dari ghirah tersebut muncul kesimpulan bahwa
ternyata tidak semua nadlom Alfiyah itu digunakan dalam praktek membaca kitab.
Sebagai contoh adalah pembahasan Imalah. Atau bisa disimpulkan bahwa cukup
dengan nadlom 100 sampai 200 bait yang sangat penting, yang menduduki skala
prioritas, yang lain hanya sekedar penyempurna.
Tahun
1995 lulus dari Kajen. Tidak tahu akan ke mana melanjutkan dan apa yang harus
penulis kerjakan, mengingat penulis berlatar belakang ekonomi yang sangat
lemah.
Bersamaan kepulangan
penulis, ada teman penulis 4 orang yang ikut ke Bangsri
dengan tujuan kerja di meubel-meubel, kebetulan teman
penulis
tersebut termasuk orang yang hafal Alfiyah tetapi tidak tahu untuk apa Alfiyah.
Pertanyaan
selanjutnya, kenapa saya bisa, sedangkan teman saya tidak bisa, di mana pada
waktu dulupun saya mengalami hafal tetapi tidak paham
Mulailah
proses pembelajaran pada 4 orang teman saya Saifuddin dari Jepat Lor, Mahmuddin
dari Ngagel, Saiful Ulum dari Bulu Manis dan Zainal Abidin dari Tenggeles
Kudus. Setiap contoh apapun saya tunjukkan dasarnya sampai terkumpul 150 bait,
inti sari Alfiyah.
Setengah
tahun kemudian, tahun 1996 ada keponakan
saya yang ikut mondok yang bernama Shodiqin dan Nur dari Bondo.Tempat anak-anak
itu saya pinjamkan rumahnya Bapak Imron, rumahnya tepat di depan rumah saya,
karena terus terang saya belum punya rumah yang layak huni
Kebetulan
Shodiqin memanggil saya dengan sebutan yai yang berarti kakek . Karena memang
bila diurutkan nasabnya, masih termasuk
keluarga. Shodiqin bin Surono,
Surono adalah anak
Ibu Sutinah. Ibu Sutinah
anak Mbah Astro,
sementara Mbah Astro adalah
kakak
bapak saya. Secara spontan maka anak didik saya memanggil saya yai, karena
ikut-ikutan Shodiqin.
Bersama
dengan empat anak yang ada tadi , saya mendirikan majlis ta'lim anak-anak kecil
yang saat itu hampir mencapai 100 anak.
Kurang
nyaman rasanya jika berada di rumah orang, karena itu saya dirikan gubuk-gubuk
kecil disamping rumah saya, ditempat layaknya dapur yang banyak kecoak, nyamuk,
dan tidak pernah luput dari tetes air hujan karena atap bocor.
Kemudian
datanglah teman-teman Shodiqin yang bernama Abdul Aziz, Su'ud, Abdul karim dan
Agus.
Merasa
kurang dengan keilmuan yang saya miliki, kemudian saya berguru thoriqoh di
Pesantren KH. Salman Dahlawi. Satu minggu kemudian, bapak saya meninggal dunia dan yang menjadi
penyesalan sampai saat ini, saya tidak bisa mengantarkan ke pemakaman beliau,
karena harus menyelesaikan tugas, disamping itu jika pulangpun sudah tidak ada
angkutan.
Setelah tujuh
hari sepeninggal Bapak
saya, Alhamdulillah masih ada
sisa sumbangan
tetangga
yang berupa beras sekitar 20 kg dan uang
50 ribu. Beras itu pun saya
bawa untuk bekal mondok Thoriqoh..
Sejak
saat itulah saya bertekad tidak akan pulang sebelum khatam thoriqoh, mumpung
masih belum menikah. Selain mempelajari thoriqoh, saya membantu pembangunan
Pesantren Al-Manshur sebagai laden (pembantu tukang batu)
Alhamdulillah
selama 100 hari saya diberi anugerah Allah bisa menghatamkan thoriqoh yang
mestinya harus ditempuh sampai 5 tahunan. Anehnya, beras 20 kg itu masih
tersisa lebih dari 10 kg, padahal dimakan lebih dari 4 orang selama saya di
sana dan uang masih tersisa 20 ribu untuk biaya pulang. Itu semua berkah
karomah Mbah Manshur dan Mbah Salman.
Setelah
hatam thoriqoh, saya pun pulang kampung. Suatu
hal yang menyedihkan adalah Majlis ta'lim yang saya rintis bersama 4 orang
teman saya telah bubar, anak-anak yang mondok boyong, hanya Shodiqinlah yang
kembali, sedangkan yang lain tidak kembali.
Sejak
saat itu saya tidak punya aktifitas apa-apa, hanya mengulangi mengajar Shodiqin . Sampai
pada
suatu hari, ada tetangga saya yang
pingsan dan tidak ada yang bisa menyadarkannya. Alhamdulillah saya bacakan ayat
kursi, dengan ijin Allah langsung
bisa sembuh. Dari situlah nama saya mulai dikenal banyak orang. Kemudian ada
anak yang sakit, Alhamdulillah juga bisa sembuh berkat pertolongan Allah SWT.
Anak-anak pun mulai berdatangan untuk belajar agama kembali dan banyak
tamu-tamu berdatangan untuk berobat.
Pada
tengah malam, tepatnya Jam 01.00 WIB., saya bersama anak-anak membongkar rumah
saya dan Alhamdulillah sebelum waktu subuh tiba, pembongkaran sudah
selesai.Orang kampung bukannya membantu, tapi menertawai dan menghina "mau
tidur di mana nanti?". Dengan kesabaran dan ketabahan, saya dan anak -anak
kembali membangun gubug-gubug kecil sambil memperbaiki rumah saya, yang kebetulan pada saat itu ada pohon jelok
yang roboh yang bisa dijadikan tiang-tiang, usuk dan sebagainya
Tahun
1997 saya menikah dengan wanita idaman saya, yang saya kenal waktu di pondok
pesantren. Memang niat
utama saya saat
itu,
mengenalnya
adalah khitbah, yang jika nanti saya sudah punya kemampuan ekonomi, akan saya nikahi. Walaupun saya mengenalnya, tanpa mengetahui
wajahnya, sampai waktu pinangan.
Sampai
tahun 2000 proses belajar-mengajar menggunakan metode guru menulis
bait - bait di papan tulis, selanjutnya dibaca dan
dipelajari bersama-sama dengan murid.
Seperti halnya yang pernah saya sampaikan pada teman teman saya dulu. Selain
belajar mereka juga bekerja.
Pada
tahun yang sama, ada anak - anak putri
yang bersekolah di MTs, ikut mondok di
tempat saya. Mereka pun saya beri pelajaran sebagaimana biasa. Santri selalu
stabil 9 orang, bila ada yang masuk, ada
yang keluar. Ternyata dari anak anak kecil tadi ada yang bisa menerima, ada
yang tidak bisa menerima, karena memang sama sekali tidak mengenal ilmu nahwu.
Suatu
hari saya mendengar ada sistem belajar cepat baca Al-Qur'an, dan saya menemukan kitabnya yaitu Qiro'ati.
Terdorong dari metode Qiro'ati yang mengupas cara membaca yang ada harokatnya,
saya ingin menulis yang bisa digunakan untuk membaca yang tidak ada harokatnya.
Orang mendengar ilmu
nahwu jadi
ngelu
dan alergi . Orang mendengar ilmu shorof menegangkan saraf. Terbetiklah nama
Amtsilati yang berarti beberapa contoh dari saya yang sesuai dengan akhiran
"ti" dari Qiro'ati. Mulai tanggal 27 Rajab, tahun 2001 M., saya mulai merenung dan muncul
pemikiran untuk mujahadah, dimana dalam thoriqoh ada do'a khusus , yang jika
orang secara ikhlash melaksanakannya,
insya Allah akan diberi jalan keluar
dari masalah apapun oleh Allah dalam jangka waktu kurang dari 4 hari. Setiap
hari saya lakukan mujahadah terus - terusan sampai tanggal 17 Ramadlan yang bertepatan
dengan Nuzulul Qur'an. Saat mujahadah, kadang saya ke makam Mbah Ahmad
Mutamakin.
Di
situ kadang seakan akan berjumpa dengan Syekh Muhammad Baha'uddin
An-Naqsyabandiyyah, Syekh Ahmad Mutamakkin dan Imam Ibnu Malik dalam keadaan
setengah tidur dan setengah sadar. Hari itu, seakan-akan ada dorongan kuat
untuk menulis. Siang malam saya ikuti dorongan tersebut dan akhirnya tanggal 27
Ramadlan selesailah penulisan Amtsilati dalam bentuk tulisan tangan. Amtsilati
tertulis hanya sepuluh hari.
Kemudian
diketik komputer oleh Bapak Nur Shubki,
kang Toni dan
kang Marno. Proses
pengetikan mulai dari Khulashoh sampai Amtsilati memakan
waktu hampir 1 tahun. Kemudian dicetak
sebanyak 300 set. Sebagai follow up terciptanya Amtsilati, kami gelar bedah buku di gedung Nahdlatul Ulama (NU)
Kabupaten Jepara, tanggal 16 juni 2002
diprakarsai Bapak Nur Kholis. Sehingga timbullah tanggapan dari peserta
yang pro dan kontra.
Salah
satu dari para peserta bedah buku di Jepara
kebetulan mempunyai kakak di Mojokerto yang menjadi pengasuh Pesantren.
Beliau bernama KH. Hafidz pengasuh
pondok pesantren "Manba'ul Qur'an". Beliau berinisiatif untuk
menyelenggarakan pengenalan sistem cepat baca kitab kuning Metode Amtsilati,
tanggal 30 Juni 2002. Untuk acara tersebut Bapak H. Syauqi Fadli sebagai
donatur, menyarankan agar dicetak 1000 set buku Amtsilati dan sekaligus untuk
acara Hubbur Rosul di Ngabul
Jepara.
Alhamdulillah
pada acara di Mojokerto mendapat sambutan luar biasa, terlihat dari banyaknya
buku yang terjual. Sementara pada acara bedah buku yang pertama di Jepara
tidak laku.
Dari
Mojokertolah dukungan mengalir sampai ke
beberapa daerah di Jawa Timur, melalui forum yang digelar oleh Universitas
Darul Ulum ( UNDAR) Jombang, Jember, Pamekasan madura. Sampai
saat ini Amtsilati telah tersebar ke pelosok Jawa, bahkan sudah sampai ke luar
Jawa, seperti Kalimantan, Batam dan alhamdulillah telah dikenal di luar negeri,
seperti Malaysia.
BERDIRINYA
DARUL FALAH
Secara
tidak resmi Darul Falah ada sejak saya lulus dari Pesantren. Secara resmi Darul
Falah didaftarkan ke Notaris (Bapak H. Zainurrohman SH. Jepara) tanggal 01 Mei
2002 dengan nomor registrasi 02.
Santrinya
berasal dari berbagai daerah di penjuru tanah air : Bali, Madura, Jawa Timur,
Bawean, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatra, kalimantan, Sulawesi. Sampai
sekarang telah tercatat lebih dari
500 santri lulusan Darul Falah
yang hanya nyantri 3 bulan sampai 6 bulan. Dengan adanya Pasca sekarang santri
berjumlah 350 santri putra-putri.
Darun
: Negeri / rumah ( untuk mengenang rumah saya yang saat itu rusak hampir roboh
dan desa saya yang begitu rusak penuh judi dan lokalisasi ).
Falah
: Bahagia / beruntung yang saya ambil dari Matholiul Falah.
Darul
Falah : Rumah / Negeri Keberuntungan.